Momentum demokrasi yang akan dilaksanakan 14 Februari 2024 menarik untuk diikuti.
Karena banyak sekali figure dan gambar yang berceceran dipinggir jalan tetapi tidak dikenali oleh para pemilih.
Sebagi contoh dikabupaten Magetan yang mayoritas penduduknya memiliki pekerjaan sebagai petani.
Mereka kebingungan dalam menentukan suara akan diberikan kepada siapa ketika sudah hari pencoblosan tiba, terutama untuk memilih DPRD Provinsi, Pusat atau RI dan DPD.
karena memang faktanya petani tidak pernah mengenal sosok yang dipajang dengan raut wajah gembira dan tanpa beban tersebut.
Jika mengutip pemikiran dari Frankfurt School, mereka menjelaskan bahwa dunia politik adalah panggung transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan).
Akibatnya kesuksesan politik adalah ketika mampu meraih kekuasaan dan meraup pundi-pundi ekonomi untuk mensejahterakan para politisi dan kelompoknya.
Sangat kontradiktif dengan teori ekonomi politik yang melihat puncak kekuasaan bukan hanya untuk meraih kekuasaan, kemakmuran demi kepentingan pribadi dan kelompoknya saja.
Tetapi harus memperjuangkan kepentingan masyarakat, kelihatannya sampai sekarang teori ini belum terlaksana dalam realitas kehidupan.
Politik transaksional, disadari atau tidak telah mempengaruhi laju kehidupan politik.
Sehingga para politisi lebih berpikir praktis dan mengesampingkan tujuan masyarakat demi memenuhi ambisi untuk berkuasa.
Karena Politik transaksional bisa memuluskan politisi untuk menduduki jabatan strategis.
Tetapi akibatnya sangat buruk terhadap kualitas moral para politisi itu sendiri.
Mereka pasti berpikir hanya bermodal uang banyak maka bisa memuluskan karier politik.
Pengabdian dan selalu turut hadir dalam masalah rakyat bukan lagi senjata ampuh pada saat ini untuk memenangkan pertarungan politik, karena perolehan suara hanya terfokus dalam wilayah advokasi saja.
Kalah dengan politisi baru yang masuk kedalam partai politik dengan membawa uang lima karung dan menjanjikan perolehan suara banyak.
Meskipun pada saat perhitungan tiba janji itu berjalan sesuai dengan harapan karena mereka membeli suara rakyat mengambang atau yang tidak paham politik dengan uang atau nominal.
sosok atau figur menjadi penentu utama keberhasilan politisi untuk memenangkan pemilihan daripada agenda program kerja yang ditawarkan.
Padahal rencana program kerja menjadi roh utama dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan.
Melihat kondisi tersebut, kontestasi politik Indonesia mirip pertandingan antara individu dan figur.
Seakan tidak menampilkan hakikat program dengan unsur ideologis yang menjadi harapan untuk menjadi jawaban persoalan masyarakat.
Kondisi seperti ini pasti merugikan rakyat kecil, bahkan sulit untuk merubah kehidupan wong cilik menjadi lebih baik dan sejahtera.
Pada faktanya Rakyat kecil hanya digunakan sebagai objek untuk mencapai puncak kekuasaan.
Seperti pagelaran wayang, Pemilu kemungkinan hanya sekedar hiburan dan tontonan rakyat dengan berbagai peran dari politisi yang terkadang atraksi diluar kemampuan logika manusia pada umumnya.
Penulis
Akbar Kamarruzzaman
Bidang Advokasi Petani Pusat Kajian Marhaenis