Madura merupakan wilayah yang dikelilingi oleh lautan dan dihuni oleh masyarakat yang semangat bekerja.
Keberadaan masyarakat madura bisa jadi tersebar dari Sabang hingga Merauke karena memiliki budaya merantau.
Budaya merantau suku Madura sudah dilakukan sebelum Indonesia merdeka dengan jangkauan yang luas.
Hal ini dibuktikan pada tahun 1806 telah banyak perkampungan Madura di karesidenan Jawa bagian timur.
Misalnya di wilayah Puger, Banyuwangi ada 22 Desa Madura. Di Probolinggo 3 Desa dan di Pasuruan 25 Desa.
40 tahun kemudian yakni tahun 1846, jumlah total penduduk Madura yang bermukim di karesidenan Jawa bagian timur mencapai 498.273 jiwa.
Sedangkan yang bermukim dan tinggal didekat daerah misalnya Surabaya, Gresik dan Sedayu, mencapai 240 ribu jiwa.
Penyebaran semakin rata seiring dengan pembukaan perkebunan di Jawa pada zaman penjajahan, yang menarik minat orang Madura menjadi buruh.
Kondisi ini ditunjang oleh ongkos berlayar yang murah, hanya 25 sen per kepala yang mempercepat arus migrasi di Madura.
Karena modal ongkos itu, setara upah buruh sehari yang berkisar antara 25 hingga 30 sen perorang.
Jika menginginka upah yang lebih besar, mereka bekerja di perkebunan kopi dengan upah 35 hingga 40 sen perhari.
Buruh dari Madura diminati para pemilik perkebunan, karena mereka bisa melakukan apa saja sesuai kebutuhan.
Hal ini disampaikan oleh Penulis buku “Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura” yakni Kuntowijoyo.
Kuntowijoyo membagi para Perantau Madura dalam dua kategori yaitu temporer dan permanen. Tetapi kategori terakhir tak terlalu terpantau aktivitasnya.
Perantau temporer memiliki waktu bekerja paling sebentar merantau tiga bulan dan paling lama enam bulan.
Hal ini menyesuaikan dengan siklus musim tanam sekaligus menjadi penanda waktu merantau orang Madura.