Saat ini, di era reformasi yang telah berlangsung selama 25 tahun, ternyata kita belum memberikan nama yang definitif terhadap sistem demokrasi yang sedang kita anut.
Sudah relevankah? Biarlah sejarah yang mengujinya.
( Djoko Sukmono)
Nasionalisme akan menjadi senjata canggih sebuah bangsa dan Negara jika dipahami secara benar oleh seluruh lapisan masyarakat didalamnya.
Artinya bahwa dalam mencintai bangsa dan Negara tidak dilakukan dengan ugal ugalan tetapi melalui pemahaman kebangsaan yang nilai nilai didalamnya dilaksanakan secara berkelanjutan dalam setiap sendi sendi kehidupan sehari hari.
Apakah Demokrasi Pancasila itu?
Demokrasi Pancasila adalah suatu bentuk demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila.
Nilai-nilai luhur tersebut adalah nilai-nilai fundamental yang terakumulasi dalam sila-sila Pancasila.
Dari sini timbul pertanyaan: apa itu nilai?
Nilai adalah esensi dari suatu keberadaan, yaitu esensi yang universal dan secara substansial merupakan kebenaran yang definitif.
Nilai tidak membutuhkan pengakuan, karena keberadaannya telah memenuhi syarat esensial sebagai suatu keberadaan yang definitif.
Apa itu esensi?
Esensi adalah dasar kesejatian dari substansi yang bersifat esensial.
Apa itu substansi?
Substansi adalah keberadaan empiris yang riil, yang terus-menerus berproses secara dinamis.
Pancasila adalah esensi bangsa sekaligus eksistensi bangsa.
Esensi bangsa adalah kesejatian bangsa yang dapat dimengerti (dipahami).
Dengan demikian, Pancasila adalah paham kebangsaan.
Eksistensi bangsa adalah dasar kesungguhan dari keberadaan suatu bangsa.
Keberadaan bangsa ini sungguh konkret dan otentik
Keotentikannya nyata karena telah memenuhi syarat sebagai bangsa.
Bangsa inilah yang membentuk negara, dan keberadaannya bersifat realistis.
Dengan demikian, keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah otentik.
Negara Republik Indonesia ini adalah negara yang sedang dalam proses pendewasaan dalam berdemokrasi.
Jika demokrasi telah menjadi keniscayaan yang tak terelakkan, bentuk demokrasi apa yang relevan dengan kondisi objektif psikologis bangsa ini?
Demokrasi liberal sudah kita jalani dan lalui, tetapi ternyata tidak relevan karena budaya kita bukanlah budaya liberalistik.
Kemudian diganti dengan demokrasi terpimpin, yang sempat menghasilkan integrasi bangsa yang cemerlang. Namun, itu pun runtuh oleh baja sejarah.
Demokrasi Pancasila, dengan asas tunggal Pancasila, sempat membuat bangsa ini kuat dalam hal ketahanan nasional dan strategi nasional di segala bidang. Salah satu contohnya adalah swasembada pangan. Namun, itu pun tunduk pada hukum rasional sejarah (tumbang).
Gambaran Situasi Sosial-Politik
Demokrasi, kekuasaan, dan dambaan adalah konsep-konsep yang menjadi inti dari dinamika sosial-politik. Namun, demokrasi kerap menyerupai legenda—tidak pernah sepenuhnya dimengerti oleh zamannya. Kekuasaan, seperti anak panah yang lepas dari busur, menghantam apa saja sesuai kehendaknya, sementara dambaan menjadi pandangan terhadap esensi yang dianggap benar dan baik, sehingga memunculkan tekad untuk mewujudkannya.
– Dambaan hukum adalah keadilan.
– Dambaan kemerdekaan adalah kebebasan.
– Dambaan berbangsa dan bernegara adalah kesejahteraan rakyat.
– Dambaan kehidupan politik adalah demokrasi.
– Dambaan kehidupan sosial adalah tersedianya ruang untuk membangun relasi sosial.
– Dambaan informasi adalah fakta objektif yang terkomunikasikan.
– Dambaan pendidikan adalah peningkatan kualitas manusia.
– Dambaan ekonomi adalah distribusi benda-benda ekonomi.
– Dambaan negara kesejahteraanadalah fasilitas umum gratis demi kebahagiaan masyarakat.
– Dambaan Negara Bangsa Indonesia adalah tatanan perikehidupan yang didasarkan pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945, guna mencapai cita-cita proklamasi.
Arah pergerakan politik Indonesia kini tampak menuju terbentuknya penguasa tunggal, dengan kekuasaan dikuasai kelompok tertentu. Era baru mungkin melahirkan *kamerad baru*, sementara rakyat dihadapkan pada musuh permanen berupa “hantu politik baru” bernama oligarki politik. Hantu ini, meski dibenci, tidak pernah dapat dibuktikan keberadaannya, terus-menerus berkembang dan melahirkan nama-nama baru. Masa depan ini, sebagaimana biasa, akan menyerahkan jawabannya pada hukum rasional sejarah.
Hukum Rasionalitas Sejarah
Kehidupan sosial manusia tunduk pada hukum rasionalitas sejarah. Ia tidak bisa dijelaskan secara empirik atau idealistik, melainkan merupakan gerak sejarah yang tak terelakkan. Kehidupan sosial ini berproses dalam suatu kerangka transhistoris, menampilkan fenomena unik dan beragam yang berasal dari tindakan produktif para makhluk sosial konkret.
Kepribadian bangsa menjadi salah satu isu krusial. Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kepribadian bangsanya. Istilah “kepribadian bangsa” mungkin hanya menjadi semboyan tanpa substansi, terutama jika penyelenggara negara dan generasi muda tidak memahami pentingnya konsep ini. Namun, meski terlihat suram, ada yang tetap berpegang pada *kepribadian Pancasila* sebagai identitas diri dan bangsa.
Objektivitas: Sebuah Paradoks
Objektivitas terus digali, dicari, dan diklaim sebagai kebenaran yang menjadi pedoman kehidupan sosial. Namun, objektivitas ini sering berubah menjadi perdebatan panjang. Ketika ia menjadi arena pertentangan, yang objektif sering kali tampak mustahil. Objektivitas dapat merujuk pada berbagai dimensi: peristiwa, situasi, keberadaan empiris, esensial, eksistensial, bahkan substansi atau kontingensi.
Di tengah kegaduhan sosial, fakta berkembang menjadi data, dan persengketaan muncul karena kepentingan yang saling bertabrakan. Stigma seperti “gerombolan yang menangnya sendiri” atau tuduhan kecurangan mewarnai proses politik, namun hukum rasional sering kali memutuskan bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar fakta dan data. Akibatnya, Indonesia kini berada di era yang disebut sebagai *”fakta-data alternatif”*, di mana objektivitas menjadi kabur.
Demokrasi Pancasila: Harapan Masa Depan
Meskipun dinamika sosial-politik tampak suram, demokrasi tetap menjadi dambaan. Demokrasi Pancasila, sebagai sistem yang mencerminkan keseimbangan dan keadilan, tetap relevan sebagai konsep masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menyadari kondisi psikologis masyarakat Indonesia yang kompleks, perenungan mendalam diperlukan untuk menjaga demokrasi sebagai landasan keberlangsungan negara bangsa ini.
Ilustrasi
Lebih baik menyerah tanpa syarat seperti Jepang kepada Amerika Serikat pasca bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Jepang kemudian dibuatkan UUD baru oleh Amerika Serikat, dan hasilnya, Jepang menjadi raksasa ekonomi sekaligus salah satu negara paling bahagia di dunia. Sementara itu, negara bangsa Indonesia berada dalam kondisi yang tidak menentu: mau menjadi negara liberal tidak bisa, mau menjadi negara kapitalis tidak bisa, mau menjadi negara sosialis tidak bisa, dan mau menjadi negara Pancasila masih dalam proses dengan banyak faktor penghambat. Akibatnya, Indonesia sering kali berargumen bahwa bangsa ini adalah bangsa besar yang telah digembleng keadaan dan tidak pernah meminta bantuan bangsa lain. Namun, itu hanyalah semboyan.
Apakah kita harus menyerah dan menyerahkan seluruh masa depan demokrasi ini kepada orang-orang yang tidak kompeten—bukan kepada negarawan, bukan kepada demokrat sejati, bukan kepada para pengikut Pancasila yang konsekuen?
Negara adalah wahana yang melembaga bagi kehidupan sosial manusia. Oleh karenanya, sejak berdirinya, negara bangsa Indonesia berpedoman kepada nilai-nilai dasar kemanusiaan yang, dari sudut pandang sosio-historis maupun kultural, memiliki nilai-nilai fundamental bernama Pancasila. Untuk menyelenggarakan pemerintahan negara, disusunlah suatu UUD yang bernama UUD 1945.
Pancasila dan UUD 1945 sebagai penuntun dan petunjuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menghadapi tantangan yang bernama anti-Pancasila dan anti-UUD 1945. Tantangan ini datang dari liberalisme, kapitalisme, dan komunisme—ideologi-ideologi dengan sistem tersendiri yang secara ideologis sudah diantisipasi oleh Bung Karno dan Suharto.
Yang perlu diingat dan diwaspadai adalah state corporate crime. Kejahatan ini memiliki strategi agar terjadi kelimpahan di berbagai bidang: bahan baku, produksi, distribusi. Ketika ada ketidakseimbangan antara konsumsi, produksi, dan distribusi, pasar menjadi stagnan. Saat itulah kejahatan yang terstruktur, sistematis, dan ultimat bekerja. Antisipasinya? Inilah yang menjadi renungan kita bersama sebagai anak bangsa.
Optimisme telah menjadi konsumsi publik yang terus dijejalkan kepada anak bangsa, agar mereka menatap masa depan dengan penuh gairah dan semangat. Namun, di negara yang kaya dan besar ini, diperlukan persatuan, kesatuan, dan keutuhan bangsa dengan semboyan: *Saya Indonesia. Kita semua harus siap menjadi bangsa besar dan unggul dengan prinsip **gold, gospel, war, glory, and victory* demi Indonesia Raya. Anak bangsa harus dipersiapkan menjadi manusia Indonesia berkepribadian Pancasila. *Merdeka.*
Dalam bahasa filsafat: sekali dalam sejarah, sekali dalam waktu, sekali dalam kehidupan individu manusia konkret, hanya sekali saja seorang anak manusia berada pada posisi puncaknya. Di posisi itu, ada misteri yang menakutkan sekaligus menyenangkan. Pada situasi batas waktu itu, ada kesenjangan hidup yang menenggelamkannya.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, ideologi negara, pandangan hidup bangsa, filsafat bangsa, dan budaya dasar bangsa sudah diabaikan. Para oligark bermain-main di tingkat konstitusi dan undang-undang.
Swastanisasi dilakukan oleh para oligark dengan mengeksploitasi sumber daya alam secara maksimal dan mengeksploitasi sumber daya manusia dengan bengis. Anak bangsa yang tidak siap mental menghadapi tantangan ini secara bertahap akan termarjinalkan dan terasing dari negaranya sendiri. Para oligark tidak peduli. Mereka yang dianggap tidak layak pakai akan ditinggalkan dan dianggap gagal menjalani kehidupan.
Negara kesejahteraan yang melandasi konstitusi kita perlahan-lahan ditinggalkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan ekstrem, saya katakan pemerintah telah menodai Pancasila dan UUD 1945.
Arah pergerakan politik di negara bangsa Indonesia menuju terbentuknya penguasa tunggal, di mana kekuasaan dipegang oleh kelompok tertentu. Akan lahir *kamerad baru* dalam era baru, sementara rakyat dibuatkan musuh permanen berupa *hantu politik baru* bernama oligarki politik. Rakyat membencinya, tetapi karena namanya hantu, ia tak bisa dibuktikan. Musuh yang tidak konkret ini terus beranak pinak dengan nama-nama baru. Ditunggu saja era baru itu dan apa yang terjadi, kita serahkan saja kepada hukum rasional sejarah.
Apakah kalian menyadari bahwa kehidupan sosial manusia tidak bisa diramalkan dengan pertimbangan yang tidak berdasar pada hukum rasionalitas? Kehidupan sosial manusia tunduk pada hukum rasionalitas sejarah. Ia tidak bisa dijelaskan secara empirik maupun idealistik. Kehidupan sosial manusia adalah gerak sejarah yang tak terelakkan dengan hukumnya sendiri. Kehidupan sosial manusia, dalam historisitasnya, berada pada trans-idios dan bergerak dalam suatu proses sejarah bernama trans-historis.
Situasi sosial adalah fenomena dari makhluk sosial konkret yang merangkai tindakan produktif dalam bentuk unik dan beragam—baik aktivitas sosial politik maupun sosial ekonomi.
Namun hingga kini, belum ada kekuatan, baik rezim yang berkuasa maupun komponen bangsa, yang berani merumuskan sistem demokrasi Pancasila. Apakah hal ini akan terus dibiarkan dan perjalanan bangsa semakin tidak menentu? Tentunya tidak!
Budaya gotong royong adalah keniscayaan yang berkembang dalam kehidupan sosial manusia Indonesia. Demokrasi adalah dambaan seluruh komponen bangsa. Maka, demokrasi di Indonesia haruslah demokrasi gotong royong.
Politik adalah urusan seluruh rakyat Indonesia. Politik adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia unggul—suatu hasrat bernama kehendak untuk berkuasa. Setiap rakyat Indonesia memiliki hak yang sama dalam politik: hak untuk dipilih dan hak untuk memilih.
Tidak ada seorang pun di Indonesia ini yang sepenuhnya bisa dipercaya. Masalah pemilihan jangan terpengaruh oleh siapapun. Kita sudah disodori tiga paslon presiden, parpol, dan caleg. Namun, itu bukan kemauan rakyat Indonesia sesungguhnya. Bagaimana mungkin rakyat yang tertindas, terlilit ekonomi, dan belum terdidik sudah disodori demokrasi elektoral, yang seharusnya dijalankan di negara yang benar-benar merdeka?
Kemerdekaan di Indonesia baru sampai pada jargon dan wacana. Ini adalah ulah segelintir orang yang anti-Pancasila dan penghinaan terhadap UUD 1945.
Pada akhirnya, berpulang kepada seluruh rakyat dan komponen bangsa Indonesia untuk memilih: apakah setuju dengan pelaksanaan demokrasi Pancasila atau melanjutkan sistem demokrasi elektoral seperti saat ini dengan segala konsekuensinya?
Saya sebagai anak bangsa tetap mempercayai dan memilih sistem demokrasi Pancasila. Hanya dengan sistem ini, masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia akan mendapatkan pencerahan untuk melanjutkan cita-cita proklamasi, yaitu terwujudnya tatanan yang adil, sejahtera, dan berkemajuan.
Bagaimana menurut Anda? Demokrasi di Indonesia dikaitkan dengan Kondisi Politik Indonesia saat ini..???
Plato mengkritik demokrasi sebagai sistem yang memberi kebebasan berlebihan, sehingga masyarakat lebih mengutamakan kepentingan pribadi, kesenangan, dan emosi daripada kebijaksanaan dan keadilan.
Demagogi dan Politik Identitas
Plato berpendapat bahwa dalam demokrasi, pemimpin sering dipilih bukan karena kebijaksanaan atau kapasitasnya, tetapi karena kemampuannya merayu massa dengan janji-janji atau retorika yang menarik. Di Indonesia, fenomena ini terlihat dalam penggunaan politik identitas, populisme, dan janji kampanye yang terkadang tidak realistis namun berhasil menarik dukungan masyarakat.
Kebebasan Berlebihan dan Ketidakstabilan
Plato memperingatkan bahwa demokrasi dapat menghasilkan kebebasan yang terlalu besar, di mana setiap orang merasa berhak melakukan apa saja tanpa memikirkan keseimbangan dan aturan. Di Indonesia, kebebasan berpendapat sangat luas, tetapi terkadang berujung pada hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi sosial yang memperparah ketegangan politik.
Oligarki Terselubung dalam Demokrasi
Plato melihat demokrasi bisa berakhir dalam oligarki atau tirani jika dikuasai oleh elite yang hanya memperkaya diri. Dalam konteks Indonesia, meskipun secara formal adalah demokrasi, banyak keputusan politik masih didominasi oleh elite dan dinasti politik, sehingga masyarakat sering merasa tidak benar-benar memiliki kontrol atas pemerintahan.
Pemilih yang Kurang Teredukasi
Plato percaya bahwa demokrasi gagal jika rakyat tidak memiliki pendidikan politik yang baik. Di Indonesia, politik uang dan kampanye berbasis sentimen sering mengalahkan rasionalitas pemilih. Akibatnya, banyak orang memilih berdasarkan popularitas atau iming-iming materi, bukan visi dan kapabilitas calon.
Apakah Solusi Plato Bisa Diterapkan di Indonesia?
Plato menawarkan konsep “filosof raja” sebagai solusi, yaitu bahwa pemimpin seharusnya adalah orang yang memiliki kebijaksanaan dan moralitas tinggi. Namun, dalam sistem demokrasi modern seperti Indonesia, gagasan ini sulit diterapkan secara langsung. Yang lebih realistis adalah memperkuat pendidikan politik masyarakat, menekan praktik politik uang, dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas pemimpin.
Secara keseluruhan, kritik Plato terhadap demokrasi tetap relevan di Indonesia, terutama dalam hal demagogi, politik uang, dan ketidakstabilan akibat kebebasan yang kurang terkontrol. Namun, demokrasi tetap memiliki keunggulan dalam memberi ruang bagi partisipasi rakyat, sehingga tantangan utamanya adalah bagaimana memperbaiki sistem agar lebih sehat dan berkelanjutan.
Penulis
Djoko Sukmono
Filsuf Sosial Indonesia