Kepala Desa adalah jabatan paling rendah dalam struktur pemerintahan Republik Indonesia.
Jabatan Kepala Desa identik dengan profesi Bidan Desa, tidak mengenal jam kerja dalam memberikan pelayanan, tidak peduli pagi, siang, malam bahkan dini haripun apabila ada masyarakat perlu pelayanan tidak bisa menolak.
Kepala Desa tidak mengenal hari libur, hujan atau terik matahari tidak menjadikan alasan untuk tidak memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Pada jaman dahulu jarang orang yang berminat untuk jabatan ini atau mungkin mimpipun tidak pernah terjadi.
Bahkan jabatan Kepala Desa lebih cenderung sebagai jabatan turun menurun, tidak sembarang orang bisa menjadi Kepala Desa.
Secara historis, mereka yang layak menurut penilaian masyarakat hanyalah seseorang dengan predikat “ kaya” ditandai dengan kepemilikan areal persawahan berhektar-hektar, lahan tegalan yang produktif dan sumber-sumber kekayaan lainnya.
Apabila kita perbincangkan kriteria atau parameter kekayaan untuk layak atau pantasnya seseorang menjadi kepala desa saat ini, pastilah tidak akan ada yang setuju atau bahkan akan diolok-olok, akan tetapi bagi mereka yang mengalami atau mau mendengarkan alasan yang mendasarinya pasti akan berfikir ulang, paling tidak bisa memahaminya.
Untuk bisa jadi pemimpin di desa saat itu haruslah memiliki sifat dan sikap kedermawanan. Bagaimana mau memiliki sifat dan sikap tersebut apabila dirinya sendiri masih perlu bantuan orang lain.
Hubungan antara masyarakat dan pemimpinnya seumpama hubungan seorang anak dengan bapaknya, apapun yang dirasakan anaknya, terutama aspek pemenuhan ekonomi keluarganya pasti berharap ada perhatian dan bantuan bapaknya. Itulah gambaran relasi sosial dan politik yang terjadi.
Seorang tokoh yang sudah sepuh yang mengalami sendiri apa yang terjadi tentang pola hubungan dan kepemimpinan kepala desa saat itu dimana tanggung jawab yang begitu besar seorang kepala desa terhadap masyarakatnya.
Kepala desa secara rutin dan penuh kesabaran berkeliling ke rumah-rumah penduduk hanya sekedar untuk mencari tahu kesulitan warganya.
Tidak jarang Kepala Desa memberikan bantuan beras atau uang secara pribadi, bukan dari keuangan desa.
Jadi kekayaan yang dimiliki Kepala Desa melekat tanggung jawab sosial dan ekonomi yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh orang-orang atau keluarga pada umumnya.
Sekarang mari kita kaitkan dengan keadaan saat ini apa masih relevan bicara kekayaan dengan syarat kepemimpinan Kepala Desa. Keadaan sudah berubah 360 derajat, yang diharapkan dari diri seorang Kepala Desa adalah kapabilitasnya sebagai seorang pemimpin.
Inilah yang membedakan tuntutan kepemimpinan Kepala Desa masa lalu dengan saat ini. Bahkan kekayaan yang dimiliki oleh calon kepala desa dengan kekayaan yang dimilikinya telah menjadikan semacam “ bisa ular” yang mematikan moral dan kepatutan.
Bukan rahasia lagi untuk mewujudkan ambisinya atau mimpi indahnya, tidak segan-segan membujuk masyarakat agar memilihnya dengan iming-iming uang atau sejenis dengan itu. Itulah yang kita kenal dengan terminologi dalam perpolitikan desa sebagai “ Money Politic”, orang sering menerjemahkan sebagai politik uang.
Akan tetapi sebenarnya padanan tersebut tidaklah tepat karena tidak menggambarkan perbuatannya. Terjemahan yang pas, yang menunjukan perbuatannya adalah “ suap politk” atau “ politik suap” karena perbuatan pidananya menurut undang-undang adalah berbentuk “ suap”.
Bercermin dari pengalaman pemilihan kepala desa di desa antah berantah, pendapat tersebut merupakan justifikasi kepada kita bahwa moral politik dan etika ditingkat desa sudah sangat mengkhawatirkan.
Perbuatan suap menyuap dalam pemilihan kepala desa sudah terang- terangan tanpa ada sedikit rasa khawatir bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana.
Lebih parah lagi perbuatan itu bukan dirasakan sebagai perbuatan tercela malah jadi kebanggaan. Antara masyarakat dan calon kepala desa ada semacam magnit yang memberikan tarikan untuk makin mendekatkan.
Modusnya calon kepala desa dijadikan proyek politik oleh masyarakat dengan berbagai dalih, dengan cara mengajukan proposal kepada calon permintaan bantuan pembangunan masjid atau fasilitas umum atau fasilitas olahraga, sumbangan hari-hari besar keagamaan, pengecoran jalan gang bahkan tidak segan-segan permintaan bantuan pribadi dari tokoh-tokoh tertentu yang merasa bisa menentukan keterpilihan seorang calon.
Kondisi tersebut direspon lebih jauh oleh calon kepala desa bukan hanya mengakomodasi permintaan masyarakat tapi dipatri dengan eratnya dengan serangan fajar, yang biasanya dilakukan H-1 hari pemilihan. Kita mendengar juga bagaimana calon kepala desa menyamarkannya dengan acara seremonial “ngaliwet”, memanfaatkan para pedagang sebagai distributor untuk membagi- bagikan bantuan bahan makanan, seperti membagikan tahu melalui padagang tahu keliling, membagikan lauk berupa daging gepuk dan sayuran matang pada pagi harinya.
Keadaan ini sudah sangat mengkhawatirkan kita semua. Harapan kita untuk mendapatkan seorang pemimpin yang kapabel makin jauh dari harapan.
Ini adalah awal dari carut marutnya pemerintahan desa. Kepala Desa terpilih mulai berfikir bagaimana uang yang sudah dikeluarkan dapat secepatnya kembali atau mungkin bagaima caranya supaya uang bisa kembali berlipat-lipat lagi.
Janganlah kita berharap terlalu jauh dengan gambaran pemerintahan desa yang ideal, desa mandiri hanya ada dalam mimpi saja. Itu adalah wajah yang pertama dari seorang pemimpin di desa.
Kedua, Motivasi untuk menjadi seorang kepala desa adalah “ Prestise” bukan lagi berfikir “prestasi”.
Orang yang sudah terpilih sebagai kepala desa merasa sudah terpenuhi syahwat politiknya; sudah menjadi penguasa yang hebat, duduk dikursi empuk dengan atribut- atribut kekuasaan yang melekat pada dirinya.
Senyuman yang menghias bibirnya, tebar pesona pada saat kampanye untuk menarik simpati masyarakat berubah dengan wajah angkuh, tidak bersahabat.
Sudah lupa atau sengaja melupakan untuk bagaimana desa yang dipimpinnya menjadi maju dan sejahtera. Yang ada dalam pikiran dan prilakunya hanyalah kekayaan, rakus dan angkuh.
Ketiga, Kepala desa jaman sekarang sebagaimana pendapat seorang antropolog terkemuka pada jamannya, Prof. Kuncara Ningrat menyebutnya sebagai bermentalitas priyai, bukan lagi bagimana bisa memberikan pelayanan yang baik malah meminta untuk dilayani.
Sama sekali tidak ada keinginan dalam dirinya memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya dan setulus-tulusnya, pelayanan seperti itu menjadikan barang langka semacam genderewo yang menakutkan.
Idealisme pelayanan “ satisfied services” hanya dibaca dan ditulis dan mustahil akan terealisasi.
Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai sikap pesimistis dan putus asa akan tetapi sebaliknya kita jadikan cambuk sehingga kita serius untuk mewujudkan pemerintahan desa yang ideal sebagaimana harapan kita semua. Tidak ada yang tidak mungkin apabila ada kemauan, aamiin.
Catatan lama Puteran, Juli 2012
Penulis
Andi Irwansyah
Pengamat Sosial Budaya Jawa Barat