Media digital kini bukan lagi sekadar alat komunikasi. Ia telah menjelma menjadi ruang hidup tempat generasi muda tumbuh, bersosialisasi, belajar, bahkan membentuk identitas diri. Di balik kemudahan dan akses tanpa batas, tersimpan tantangan besar yang tak boleh diabaikan.
Hari ini, keseharian remaja nyaris tak lepas dari layar. Sejak membuka mata hingga menjelang tidur, berbagai platform seperti TikTok, Instagram, YouTube, Mobile Legends, hingga Facebook menjadi konsumsi utama. Di permukaan, semua tampak menyenangkan penuh hiburan, tren lucu, dan konten viral. Namun, jika dilihat lebih dalam, muncul jejak kecanduan, tekanan sosial, dan krisis kepercayaan diri yang perlahan menggerogoti.
Meski demikian, tak bisa disangkal bahwa media digital juga membuka peluang besar. Ia mempercepat akses informasi, memperluas wawasan, dan menjadi ruang ekspresi diri yang luas. Banyak anak muda menemukan bakatnya melalui YouTube atau TikTok, membangun komunitas di Instagram, atau bahkan memulai bisnis kecil-kecilan melalui Facebook Marketplace dan platform daring lainnya. Tak sedikit yang menjadikan media digital sebagai batu loncatan menuju kesuksesan.
Namun, algoritma di balik media-media tersebut tidak selalu mendorong pertumbuhan yang sehat. Konten yang muncul sering kali lebih memicu emosi sesaat mendorong pola pikir instan, adiktif, dan permisif. Remaja pun tanpa sadar terjebak dalam lingkaran perbandingan sosial, citra diri palsu, dan pencarian validasi digital.
Tantangan terbesar bukan terletak pada teknologinya, melainkan pada cara generasi muda menghadapinya. Ketika dunia maya terasa lebih penting dari dunia nyata, ketika eksistensi diukur dari jumlah likes dan views, dan ketika informasi diterima tanpa kritis, maka peluang itu pun bisa berubah menjadi ancaman.
Di sinilah pentingnya literasi digital. Generasi muda perlu dibekali bukan hanya dengan keterampilan teknis, tetapi juga dengan kemampuan berpikir kritis, memilah informasi, dan mengelola waktu layar. Literasi digital berarti kesadaran untuk tidak mudah terpengaruh, berani menyaring konten, dan tetap menjaga jati diri di tengah derasnya arus informasi.
Media digital bukanlah musuh. Ia adalah cermin. Dan jika generasi muda mampu melihat pantulan dirinya dengan jernih, mereka akan sadar bahwa masa depan tidak ditentukan oleh algoritma, tetapi oleh kesadaran, karakter, dan keberanian untuk berpikir mandiri.
Di sinilah Peran Marhaenis menjadi krusial. Marhaenisme, sebagai ideologi yang berpihak pada rakyat kecil, menempatkan manusia sebagai subjek perubahan sosial. Dalam konteks digitalisasi, nilai-nilai Marhaenis perlu dihidupkan kembali untuk membentuk generasi muda yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga berkesadaran sosial dan berakar pada nilai kemanusiaan. Marhaenis mendorong pemuda untuk berpikir mandiri, berjuang bersama rakyat, dan tidak hanyut dalam arus kapitalisme digital yang menempatkan manusia hanya sebagai konsumen algoritma.
Melalui pendidikan kritis, pengorganisasian komunitas, dan penanaman semangat gotong royong di ruang digital, Marhaenis dapat menjadi penjaga arah moral dan ideologis generasi muda. Bukan sekadar mengikuti tren, tapi menciptakan arus tanding yang membebaskan dan memberdayakan. Dari sinilah, media digital bisa menjadi alat perjuangan, bukan jebakan.
Penulis
Anam_alvinosa
Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ( GMNI )
Komisariat Pancasila UIM Pamekasan