Pemerintah kembali menggulirkan kebijakan pemberian gaji ke-13 bagi aparatur negara dan pensiunan, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23 Tahun 2025.
Kebijakan ini menyasar PNS, PPPK, TNI, Polri, pejabat negara, hingga pegawai non-ASN di lembaga penyiaran publik.
Gaji ke-13 terdiri atas komponen gaji pokok, tunjangan keluarga, pangan, jabatan, serta tunjangan kinerja, dengan seluruh potongan pajaknya ditanggung oleh negara.
Secara administratif, kebijakan ini tampak sebagai bentuk apresiasi terhadap dedikasi para pelayan publik. Namun, di tengah realitas sosial yang timpang dan meningkatnya ketimpangan kesejahteraan, kebijakan ini justru menjadi bukti nyata dari ketidakmampuan pemerintah dalam menyusun skala prioritas anggaran secara adil dan berpihak pada rakyat kecil.
Ironi Keadilan Anggaran
Penghargaan terhadap aparatur negara tentu penting, namun menjadi problematik ketika diberikan secara rutin dan formalistik tanpa evaluasi berbasis kinerja maupun dampak terhadap pelayanan publik.
Sementara jutaan rakyat masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar, petani tergencet fluktuasi harga, dan anak-anak miskin terancam putus sekolah, kebijakan ini justru menunjukkan watak anggaran negara yang elitis dan eksklusif.
Kebijakan gaji ke-13, dalam konteks ini, tidak lagi merefleksikan penghormatan atas pengabdian, tetapi menjadi simbol dari ketidakadilan distribusi anggaran. Ini bukan sekadar kebijakan salah sasaran, melainkan potret buram dari pengelolaan fiskal yang abai terhadap kelompok paling rentan.
Negara Dermawan ke Atas, Pelit ke Bawah
Fenomena ini menegaskan birokrasi yang makin administratif dan menjauh dari roh keadilan sosial. Pemerintah terkesan sigap mencairkan insentif bagi aparaturnya, tetapi lamban dan gamang dalam merumuskan kebijakan strategis yang menyentuh kehidupan rakyat miskin, pekerja informal, atau generasi muda yang terjebak dalam pengangguran intelektual.
Padahal, anggaran negara semestinya berpijak pada urgensi dan dampak sosial. Di tengah lonjakan harga kebutuhan pokok dan krisis daya beli, akan jauh lebih bijak bila insentif ditunda dan anggaran dialihkan ke program-program pemulihan sosial seperti subsidi pangan, pemberdayaan ekonomi rakyat, hingga penanganan stunting.
Lebih jauh lagi, ketidakmampuan pemerintah membaca realitas sosial dengan empati dan akal sehat menandakan krisis kepemimpinan. Kebijakan publik bukan sekadar keputusan administratif, melainkan cerminan keberpihakan dan tanggung jawab moral. Ketika empati absen, kebijakan pun akan melenceng dari cita-cita keadilan sosial.
Kebijakan sebagai Cermin Kekuasaan
Setiap kebijakan mencerminkan nilai dan orientasi kekuasaan. Ketika negara lebih rajin menggaji birokrat daripada membebaskan rakyat dari kemiskinan, maka jelas bahwa krisis sesungguhnya bukan terletak pada ketersediaan dana, melainkan pada buruknya tata kelola, minimnya sensitivitas sosial, dan gagalnya pemahaman siapa yang paling membutuhkan bantuan.
Gaji ke-13 bukanlah masalah teknis, tetapi simbol dari orientasi kebijakan yang salah arah. Ia mencerminkan kenyamanan yang dijaga untuk kelompok elite birokrasi, alih-alih menjadi alat untuk memperluas keadilan bagi mereka yang paling membutuhkan. Dalam konteks itulah, kebijakan ini sah disebut sebagai bentuk ketidakbecusan dalam pengelolaan keuangan negara.
Negara Butuh Revolusi Skala Prioritas
Indonesia tidak kekurangan anggaran, melainkan kekurangan keberanian untuk berpihak secara tegas. Yang dibutuhkan bukan hanya alokasi dana yang besar, melainkan political will untuk membelanjakannya dengan bijak dan adil. Reformasi anggaran harus dimulai dari penataan ulang skala prioritas yang berpihak pada rakyat bawah, bukan pada kenyamanan struktural birokrasi.
Tanpa evaluasi menyeluruh, tanpa komitmen memangkas belanja yang tidak produktif, dan tanpa visi keadilan sosial yang konkret, maka kebijakan seperti gaji ke-13 akan terus menjadi ironi. Bukan penghargaan, melainkan pengabaian atas realitas. Dan lebih parah lagi, menjadi bukti bahwa negara belum selesai belajar memimpin dengan nurani dan akal sehat.
Tanpa evaluasi menyeluruh, tanpa komitmen memangkas belanja yang tidak produktif, dan tanpa visi keadilan sosial yang konkret, maka kebijakan seperti gaji ke-13 akan terus menjadi ironi. Bukan penghargaan, melainkan pengabaian atas realitas. Dan lebih parah lagi, menjadi bukti bahwa negara belum selesai belajar memimpin dengan nurani dan akal sehat.
Penulis
Al_vinosa
Kader DPK Universitas Islam Madura
GMNI Cabang Pamekasan