Kebijakan Salah Sasaran Cerminan Ketidakbecusan Pengelolaan Keuangan Negara, Harus Dilakukan Revolusi Skala Prioritas

- Jurnalis

Kamis, 5 Juni 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

 

 

Pemerintah kembali menggulirkan kebijakan pemberian gaji ke-13 bagi aparatur negara dan pensiunan, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23 Tahun 2025.

Kebijakan ini menyasar PNS, PPPK, TNI, Polri, pejabat negara, hingga pegawai non-ASN di lembaga penyiaran publik.

Gaji ke-13 terdiri atas komponen gaji pokok, tunjangan keluarga, pangan, jabatan, serta tunjangan kinerja, dengan seluruh potongan pajaknya ditanggung oleh negara.

Secara administratif, kebijakan ini tampak sebagai bentuk apresiasi terhadap dedikasi para pelayan publik. Namun, di tengah realitas sosial yang timpang dan meningkatnya ketimpangan kesejahteraan, kebijakan ini justru menjadi bukti nyata dari ketidakmampuan pemerintah dalam menyusun skala prioritas anggaran secara adil dan berpihak pada rakyat kecil.

 

Ironi Keadilan Anggaran

Penghargaan terhadap aparatur negara tentu penting, namun menjadi problematik ketika diberikan secara rutin dan formalistik tanpa evaluasi berbasis kinerja maupun dampak terhadap pelayanan publik.

Sementara jutaan rakyat masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar, petani tergencet fluktuasi harga, dan anak-anak miskin terancam putus sekolah, kebijakan ini justru menunjukkan watak anggaran negara yang elitis dan eksklusif.

Kebijakan gaji ke-13, dalam konteks ini, tidak lagi merefleksikan penghormatan atas pengabdian, tetapi menjadi simbol dari ketidakadilan distribusi anggaran. Ini bukan sekadar kebijakan salah sasaran, melainkan potret buram dari pengelolaan fiskal yang abai terhadap kelompok paling rentan.

Baca Juga :  Friedrich Wilhelm Nietzsche Pemikir dan Penulis Berpengaruh Besar Pada filsafat, Teologi, Serta Seni Abad ke-20

 

Negara Dermawan ke Atas, Pelit ke Bawah

Fenomena ini menegaskan birokrasi yang makin administratif dan menjauh dari roh keadilan sosial. Pemerintah terkesan sigap mencairkan insentif bagi aparaturnya, tetapi lamban dan gamang dalam merumuskan kebijakan strategis yang menyentuh kehidupan rakyat miskin, pekerja informal, atau generasi muda yang terjebak dalam pengangguran intelektual.

Padahal, anggaran negara semestinya berpijak pada urgensi dan dampak sosial. Di tengah lonjakan harga kebutuhan pokok dan krisis daya beli, akan jauh lebih bijak bila insentif ditunda dan anggaran dialihkan ke program-program pemulihan sosial seperti subsidi pangan, pemberdayaan ekonomi rakyat, hingga penanganan stunting.

 

Lebih jauh lagi, ketidakmampuan pemerintah membaca realitas sosial dengan empati dan akal sehat menandakan krisis kepemimpinan. Kebijakan publik bukan sekadar keputusan administratif, melainkan cerminan keberpihakan dan tanggung jawab moral. Ketika empati absen, kebijakan pun akan melenceng dari cita-cita keadilan sosial.

 

Kebijakan sebagai Cermin Kekuasaan

Setiap kebijakan mencerminkan nilai dan orientasi kekuasaan. Ketika negara lebih rajin menggaji birokrat daripada membebaskan rakyat dari kemiskinan, maka jelas bahwa krisis sesungguhnya bukan terletak pada ketersediaan dana, melainkan pada buruknya tata kelola, minimnya sensitivitas sosial, dan gagalnya pemahaman siapa yang paling membutuhkan bantuan.

Gaji ke-13 bukanlah masalah teknis, tetapi simbol dari orientasi kebijakan yang salah arah. Ia mencerminkan kenyamanan yang dijaga untuk kelompok elite birokrasi, alih-alih menjadi alat untuk memperluas keadilan bagi mereka yang paling membutuhkan. Dalam konteks itulah, kebijakan ini sah disebut sebagai bentuk ketidakbecusan dalam pengelolaan keuangan negara.

Baca Juga :  Peran Marhaenis di Tengah Gempuran Media Digitalisasi, Antara Peluang dan Ancaman Masa Depan

 

Negara Butuh Revolusi Skala Prioritas

Indonesia tidak kekurangan anggaran, melainkan kekurangan keberanian untuk berpihak secara tegas. Yang dibutuhkan bukan hanya alokasi dana yang besar, melainkan political will untuk membelanjakannya dengan bijak dan adil. Reformasi anggaran harus dimulai dari penataan ulang skala prioritas yang berpihak pada rakyat bawah, bukan pada kenyamanan struktural birokrasi.

Tanpa evaluasi menyeluruh, tanpa komitmen memangkas belanja yang tidak produktif, dan tanpa visi keadilan sosial yang konkret, maka kebijakan seperti gaji ke-13 akan terus menjadi ironi. Bukan penghargaan, melainkan pengabaian atas realitas. Dan lebih parah lagi, menjadi bukti bahwa negara belum selesai belajar memimpin dengan nurani dan akal sehat.

Tanpa evaluasi menyeluruh, tanpa komitmen memangkas belanja yang tidak produktif, dan tanpa visi keadilan sosial yang konkret, maka kebijakan seperti gaji ke-13 akan terus menjadi ironi. Bukan penghargaan, melainkan pengabaian atas realitas. Dan lebih parah lagi, menjadi bukti bahwa negara belum selesai belajar memimpin dengan nurani dan akal sehat.

 

Penulis
Al_vinosa

Kader DPK Universitas Islam Madura

GMNI Cabang Pamekasan

Berita Terkait

Demi Bangsa dan Negara Indonesia Saatnya Kaum Jelata Bicara Fakta, Tolak Segala Bentuk Gerakan Yang Menciderai Pilihan Rakyat
TRAGEDI FILOSOFIS PANCASILA 1 JUNI
Anak Petani Bisa Menjadi Kaya Raya Melalui Wirausaha dan Pendidikan Bermutu, Jangan Tinggalkan Dunia Pertanian
Peran Marhaenis di Tengah Gempuran Media Digitalisasi, Antara Peluang dan Ancaman Masa Depan
Kepala Dinas Pertanian Bojonegoro Harus Perintahkan Penyuluh Untuk Mendampingi Petani, Jangan Hanya Sibuk Urusi Administrasi
Jas Merah Berdarah, Jangan Sekali Kali Melupakan Sejarah dan Belajarlah Dari Sejarah
REALISME SOSIAL
REALISME SOSIAL dan POTRET REALITAS

Berita Terkait

Jumat, 6 Juni 2025 - 14:42 WIB

Demi Bangsa dan Negara Indonesia Saatnya Kaum Jelata Bicara Fakta, Tolak Segala Bentuk Gerakan Yang Menciderai Pilihan Rakyat

Kamis, 5 Juni 2025 - 08:33 WIB

Kebijakan Salah Sasaran Cerminan Ketidakbecusan Pengelolaan Keuangan Negara, Harus Dilakukan Revolusi Skala Prioritas

Minggu, 1 Juni 2025 - 00:09 WIB

TRAGEDI FILOSOFIS PANCASILA 1 JUNI

Sabtu, 31 Mei 2025 - 22:43 WIB

Anak Petani Bisa Menjadi Kaya Raya Melalui Wirausaha dan Pendidikan Bermutu, Jangan Tinggalkan Dunia Pertanian

Sabtu, 31 Mei 2025 - 09:27 WIB

Peran Marhaenis di Tengah Gempuran Media Digitalisasi, Antara Peluang dan Ancaman Masa Depan

Berita Terbaru

Nasionalis

Manusia Methodologis dan Bangkitnya Soekarnoisme

Sabtu, 14 Jun 2025 - 11:33 WIB