Ki Hajar Dewantara memaparkan sosok pemimpin masa depan harus memiliki tiga sifat filosofi.
Masing-masing tiga sifat filosofi dijelaskan serta makna berbahasa Jawa, di bawah ini :
* Ing Ngarsa Sung Tuladha artinya dari depan memberikan teladan.
* Ing Madya Mangun Karsa artinya di tengah membangkitkan semangat.
* Tut Wuri Handayani artinya dari belakang memberi dorongan.
Ketiga filosofi dimaksudkan dan ditujukan bagi para pemimpin agar dapat memberikan inspirasi dan memberikan teladan serta motivasi, solusi bagi rakyat dipimpinnya.
Ketiga filosofi itu semua harus dimiliki oleh pemimpin dan sudah barang tentu pemimpin punya mimpi tertuang dalam tulisan (program) kinerja terarah, tersusun dan strategis taktik demi mencapai kesejahteraan atas dasar kebutuhan dasar umat dipimpinnya.
Mimpi pemimpin pun harus tertuang pula dalam visi, misi dan tujuan tentu jelas kinerja, terarah pencapaian keadilan, kesejahteraan lohjinawe tata tentrem dan berempati idea idea perubahan secara jelas, terukur, terstruktur dan simultan.
Sesuai pesan di pidato-pidato Presiden pertama Ir. Sukarno saat peringatan Proklamasi 17 Agustus atau hari hari besar lainnya.
Pemimpin harus fokus tapi harus mampu bersikap bijak menyikapi apapun dan program kerja telah atau pun belum diagendakan.
Jika belum ada kepastian terlaksananya program kerja utama, maka pemimpin harus luwes bersikap, berfikir dan mengatur ritme. Dinamis, elastis, statis, fleksibel dan humanis.
Agenda pokok belum terwujud jangan diam tapi ambil agenda kerja lainnya yang paling mudah agar tidak hilang momentum yang sedang berlangsung, paling pahitnya sistem obat nyamuk agar terlaksana agenda inti atau memilih rebut empati pendukung, ibarat pepatah, dua tiga pulau terlampaui sekaligus.
Yang paling penting adalah pergerakan harus bergerak, kalau tanpa gerakan maka gerak itu akan mati suri.
Nilai yang bisa diambil dari filosofi tersebut yakni hidup adalah urip (gerak), diam (mandhek) adalah mati.
Pemimpin harus melaui proses seperti Pemilihan Umum saat ini, yakni melalui proses pembidanan kelahiran pemimpin nasional atas nama suara rakyat.
Bila tanpa kesepakatan langsung angkat dirinya sebagai pemimpin tentu menimbulkan sistem otoriter bukan sistem Demokrasi berkedaulatan, apalagi demokrasi-Pancasilais-Marhaenisme.
Dimana demokrasi Indonesia dasarnya adalah bangunan Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bagi bangsa Indonesia Demokrasi asli bangsa, yaitu Demokrasi Gotong Royong.
Pola pemimpin mengarahkan, pimpin terus gerak dan tidak pernah berhenti, memiliki keputusan jelas bukan asa.
Barang tentu membawa kesejahteraan bagi anak buah dan keluarganya anak buah serta dirinya karena maju mundur struktural kepemimpinan ditentukan kepiawaian pemimpin me-manage pengeluaran dan pemasukan baik dana, lalu lintas informasi serta kegiatan antar kelembagaan atau kegiatan internal dan lain lainnya walaupun telah ada pembantu pembantunya yaitu departemen di strukturalnya.
Hakekatnya pemimpin memiliki super jiwa etos kerja, secara tepat cepat saat menangani permasalahan dan secepat itu hadirkan solusi tersistem, jelas, terukur dan progres.
Konsep Trisakti berdaulat politik, kepribadian budaya dan berdikari ekonomi bukan saja kata syakral berlebihan tapi justru mengandung pengejawantahan pejuang pemikir pemikir pejuang memanifestasikan bentuk pencapaian kesejahteraan dan keadilan bersama.
Kedaulatan Politik adalah sikap, keyakinan, pandangan elastis, fleksibel, dinamis, sistematis, kebijaksanaan-legowo sebagaimana etika, empati serta berbudi luhur dapat dipertanggungjawabkan.
Lawan ideologi komunisme, sosialisme, pluralisme, hak-hak individu dan kesetaraan bahkan Pancasila serta bentuk pemerintahan demokratis adalah Fasisme.
Ideologi fasisme menganut filsafat politik ultranasionalis, otoriter dan nasionalisme chouvisnis.
Gerakan politik pertama Fasisme di Eropa, muncul akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Saat itu Benito Mussolini mendirikan Partito Nazionale Fascista (Partai Fasis Nasional) di Italia, 1919.
Selanjutnya Jerman, Nazi pemerintahan Fasis di bawah kendali Adolf Hitler 1933 dan 1945.
Hitler pemimpin Jerman angkat diri Führer (pemimpin) bagi rakyat Jerman.
Pesan utama jas merah telah dijalankan para pejuang pendahulu di medan perang Kurusetra sehingga terjadilah pengukuhan Hari Kemerdekaan Proklamasi, 17 Agustus 1945.
Risalah pejuang pendahulu dengan tumbuhnya kesadaran “bersatu kita kuat – kuat kita bersatu” atau “samenbundeling van alle revolutionaire krachten,” (menyatupadukan seluruh kekuatan revolusioner mengusir kekuatan kolonial menuju Indonesia merdeka).
Terpatri sangat dalam disanubari generasi penerus sehingga dituangkan di dalam Bhinneka artinya perbedaan, adapun Tunggal artinya cerai berai, sedangkan Ika artinya persatuan.
Arti Bhinneka Tunggal Ika secara keseluruhan adalah Perbedaan bercerai berai di Persatukan, jadi arti Bhinneka Tunggal Ika bila diartikan semuanya, Berbeda beda Tapi Tetap Satu jua.
Bhinneka Tunggal Ika teraplikasi maha dahsyat pesan para pejuang pendahulu telah mengorbankan segalanya.
Mereka tunai tugas janji bakti demi kehidupan kebahagiaan anak cucu dikemudian hari tidak lagi terjajah atau dijajah.
Harapan pejuang pendahulu kepada para generasi penerus negeri mampu membawa bangsa disegani, bangsa beradab, bangsa mengerti balas budi dan InsyaAllah atas jalur langit bangsa Indonesia menjadi mercusuar dunia demi kesejahteraan dan beradaban bangsa-bangsa di seluruh muka bumi.
Jadi makna Sosio-Nasionalisme adalah makna Jiwa Patriot-Kepemimpinan Nasional berdaulat, berkepribadian dan berdikari tanpa melihat perbedaan ras, agama, golongan, suku budaya tapi justru perkokoh Persatuan Indonesia.
Penulis
Bung Andi Wijaya Cah Angon
Koresponden marhaeis.com