Proses politik yang menarik untuk disimak berasal dari negara tetangga yakni Thailand.
Karena posisi Monarki terancam oleh demokrasi yang disuarakan oleh partai mayoritas.
Menariknya adalah ketika partai tersebut melakukan kampanye dengan janji mengubah Undang Undang.
Mahkamah Konstitusi Thailand hari Rabu (31/1) memutuskan bahwa partai yang paling populer di negara itu.
Telah melanggar konstitusi dengan janjinya untuk mengubah UU lese majeste yang ketat.
Partai Bergerak Maju (MFP) yang progresif meraih mayoritas di parlemen dalam pemilihan tahun lalu.
Berkat janji yang akan mengubah UU yang membuat penghinaan terhadap kerajaan sebagai kejahatan.
Disatu sisi mahkamah mengatakan janji itu sama dengan upaya MFP untuk menggulingkan monarki.
Kemudian memberi perintah kepada partai itu agar mengakhiri semua upaya untuk mengamendemen atau menghapus UU tersebut.
Masyarakat menilai putusan itu diperkirakan akan memicu upaya hukum yang lebih luas oleh lawan-lawan politik partai tersebut yang menginginkan pembubarannya.
Perlu diketahui bahwa Thailand memiliki salah satu UU lese majeste paling keras di dunia.
Yakni dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara untuk setiap warga negara yang menghina.
Undang undang ini menjadi poin utama gerakan prodemokrasi yang dipimpin kaum muda sejak 2020.
Yang berjuang secara politis serta demonstrasi dalam rangka penghapusan UU tersebut.
Keberhasilan MFP dalam pemilu tahun lalu menciptakan kontra reaksi di kalangan konservatif yang didukung Thailand di Senat.
Dengan menghalangi pemimpin partai itu yakni Pita Limjaroenrat, untuk menduduki jabatan perdana menteri.
Pita diskors dari parlemen pada Juli lalu setelah Komisi Pemilihan Umum menuduhnya melanggar peraturan pemilu.
Karena memiliki saham di sebuah perusahaan media sewaktu mencalonkan diri pada waktu itu.
Tetapi Pengadilan Thailand hari Rabu menyatakan Pita tidak melanggar aturan pemilu.
Meskipun memiliki saham di perusahaan iTV yang sudah tidak beroperasi lagi.