Hanya Manusia yang Bereksistensi, Hanya Manusia yang Beresensi dan manusia yang Konkret yang akan menjadi pelopor kemajuan zaman( DJoko Sukmono)
Ketika manusia menyadari eksistensinya, yang dijumpai adalah berbagai ancaman yang harus dihadapi. Ancaman tersebut berupa konstruksi dan struktur sosial yang memiliki instrumen bernama budaya.Ancaman itu telah tersebar memenuhi ruang sosial.
Hampir tidak ada peluang bagi eksistensi untuk mendapatkan ruang bagi dirinya. Kehidupan sosial ini sudah terkepung oleh struktur sosial, telah terpatri oleh konstruksi sosial.
Kegagalan demi kegagalan anak-anak manusia dalam ber-eksistensi telah terbukti dalam sejarah.
Berikut model eksistensi yang ada dan menjadi, yang oleh kalangan intelektual disebut sebagai eksistensialis
Manusia adalah dimensi yang multi-kompleks, konkret, dan individual, hidup di dalam ruang dan waktu, berada pada posisinya yang utuh sebagai eksistensi yang autentik. Dengan yang sedemikian itu, manusia tidak dapat digeneralisasi oleh hal-hal yang esensial, misalnya manusia dibagi berdasarkan budaya yang ada dan berkembang, yang oleh rezim sebagai penguasa konstruksi dan struktur sosial mencetak manusia menjadi berbagai bentuk yang retak. Misalnya, manusia disebut makhluk individu, makhluk sosial, makhluk yang ber-Tuhan, berbudi pekerti luhur, dan sebagainya.
Di samping itu, komunitas sosial juga ikut campur dalam kehidupan pribadi dengan alasan yang absurd dan ilusif, seperti perjuangan, pengorbanan, pengabdian, integritas, dan loyalitas. Anak-anak manusia yang tinggal di muka bumi dalam rangka men-Dunia telah dijadikan budak oleh penguasa konstruksi dan struktur sosial. Budaya, sebagai buah pikiran manusia yang menampak pada kebudayaan dan peradaban, adalah faktor utama bagi kegagalan manusia dalam ber-eksistensi.
Ber-eksistensi adalah upaya individu konkret dalam men-Dunia berdasarkan kebebasan yang ada pada dirinya sebagai manusia. Kebebasan ini mutlak bagi tiap individu konkret, karena setiap manusia konkret adalah kebebasannya, pengalamannya, dan tanggung jawabnya sendiri.
Eksistensi yang beresensi itu mungkin
Bahwa sesungguhnya manusia itu satu adanya, oleh karena itu manusia wajib hidup. Segala sesuatu yang mengakibatkan manusia tidak hidup harus dihapuskan dari muka bumi. Selanjutnya, pembentukan manusia harus dilaksanakan dengan cepat dan tepat sasaran terhadap seluruh inisial yang ada, berpedoman pada keadilan sosial yang disokong oleh pilar utama: identitas, integritas, dan loyalitas.
Kegagalan esensial telah menjadi fakta otentik, sedangkan kegagalan eksistensial berada pada posisi paradoksal. Upaya menjadi manusia konkret terhalangi oleh struktur sosial yang konstruktif, juga oleh budaya ekstremis radikal yang terkooptasi oleh pancang-pancang kebenaran dan kebaikan. Kekuatan moneter menjadi monster yang siap melahap eksistensi manusia konkret. Revolusi dalam bentuk baru tidak membawa situasi sosial yang kondusif, melainkan menjerumuskan anak-anak manusia yang masih kekanak-kanakan ke jurang kehancuran.
Peran Orde Digitalisasi saat ini menjadi harapan besar bagi anak-anak manusia dalam mempraktikkan eksistensinya. Ruang kebebasan telah dibuka; pintu dan jendela dunia mulai nampak. Yang esensial dinyatakan tidak becus dan usang, lalu digantikan dengan bentuk baru bernama Google dan internet. Keduanya menawarkan solusi baru dalam kehidupan sosial anak-anak manusia untuk tumbuh menjadi anak-anak Orde masa depan.
Kecepatan Orde Digitalisasi adalah efek dari revolusi sains dan teknologi yang dimanifestasikan oleh progresivitas revolusi industri. Situasi ini tak terelakkan. Kekuatan Orde Digitalisasi mampu menembus pelosok dunia dan relung identitas yang telah ada sebelumnya.
Struktur sosial esensial runtuh.Budaya esensial berantakan.Sistem sosial mudah terdekonstruksi.Para esensialis melakukan bunuh diri massal.Generasi milenial dan generasi Z membunuh semua yang kontra terhadap Orde Digitalisasi.
Keruntuhan rezim politik, sosial, kebudayaan, maupun keagamaan sudah berada di depan mata dan kini terhuyung-huyung.
Mengapa demikian?Karena keberadaan mereka rentan terhadap hukum-hukum rasional perubahan. Inilah yang disebut Hukum Rasional Sejarah yang kini bermanifestasi secara konkret. Dengan godam sejarah, struktur ahistoris dihancurkan; dengan baja sejarah, pelaku struktural yang stratifikatif otoritatif dihantam.
Inilah yang esensial itu, yang telah gagal mendunia
Jika yang esensial (yang kemungkinan itu mungkin) memungkinkan keberadaan, maka yang eksistensial (sebagai yang sungguh-sungguh ada) menjadi tidak mungkin. Sebab, yang tersedia dalam kehidupan sosial manusia hanyalah hamparan ketidakmungkinan yang absurd.
Makanya, keberadaan manusia hanya sampai pada yang esensial, tidak mencapai yang eksistensial. Esensi adalah dasar kemungkinan keberadaan manusia, sedangkan eksistensi adalah dasar kesungguhan keberadaan manusia.
Beresensi dan bereksistensi bagi manusia individu konkret hanya sampai pada situasi batas, demikian pula kondisi sosial konkret. Keduanya berujung pada situasi batas sosial yang absurd, yaitu keberadaan yang pecah. Hal ini terjadi karena keberadaan esensial jatuh ke jurang kesia-siaan.
Inilah esensial itu: kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan. Ketiganya adalah nilai dasar kemanusiaan, namun apakah sudah konkret? Tidak. Kemanusiaan itu bersifat absurd.
Dengan susah payah, anak-anak manusia berusaha menjadi manusia autentik, namun gagal.
Uni Soviet bubar.
Reformasi absurd.
Partai politik gagal.
Demokrasi gagal.
Marxisme menimbulkan konfrontasi berkepanjangan.
Kapitalisme menggali kuburnya sendiri.
Anak-anak manusia berada pada posisi esensi yang rapuh, sebab esensi hanyalah jebakan yang menjadikan manusia sebagai makhluk sosial yang berhadapan dengan situasi serba kemungkinan.
Paradoksal adalah jalan menuju absurditas.Paradoks membelah yang utuh menjadi kepingan-kepingan yang terserak menuju situasi absurd—situasi tanpa tujuan, misterius, dan mengerikan.
Negara-bangsa Indonesia berada pada posisi paradoksal. Timur Tengah berada dalam situasi batas sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Yang esensial hanyalah bayang-bayang waktu yang ilusif. Kehidupan sosial manusia terbatas pada waktu kemarin, sekarang, dan yang akan datang. Dengan penggunaan struktur pikiran yang reflektif, rasio dapat bekerja lebih jernih dan tajam, membuka kemungkinan menuju eksistensial, di mana kebebasan manusia konkret dapat dijelaskan.
Djoko Sukmono
Filsuf Sosial Indonesia