Akhir-akhir ini, fenomena Gen Z sering menjadi sorotan dengan berbagai problematika yang menyertainya. Bagi yang belum tahu, Gen Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1997–2012 atau kini berusia sekitar 12–27 tahun. Banyak berita dan media sosial yang menyoroti kelemahan generasi ini, seperti ketergantungan yang tinggi pada teknologi, rentan terhadap stres dan kecemasan, kurang sabar, krisis identitas dan tujuan, serta kurang pengalaman dalam menyelesaikan konflik sosial. Intinya, Gen Z dinilai kurang siap menghadapi dunia kerja dan kehidupan sosial.
Mengapa bisa demikian? Tentu ada banyak faktor yang memengaruhi, tetapi saya sendiri dapat merasakan hal tersebut. Sebagai seorang tenaga pengajar yang kerap berinteraksi dengan mahasiswa, saya sering menemui contoh kasus yang membuat saya terheran-heran. Salah satunya, pernah ada seorang mahasiswa yang harus menunda kuliah setahun hanya karena ada teman sekelas yang tidak menyukainya. Ada pula yang berhenti kuliah pada hari kedua karena tidak tahan dengan tekanan saat orientasi mahasiswa baru, meskipun orientasi saat ini sudah jauh dari kekerasan atau bullying.
Mungkin hal ini tampak mengejutkan, tetapi inilah kenyataannya. Kita sering kali membandingkan diri dengan generasi saat ini dan berkata, “Kalau anak zaman dulu dimarahi guru, pulang ke rumah masih dimarahi orang tua; kalau sekarang, lapor polisi.” Ungkapan ini mungkin terasa benar, tetapi menurut saya ada kelanjutan yang belum diucapkan: “Ingat, anak yang dulu dimarahi guru sekarang sudah menjadi orang tua.” Mungkin kita sebagai orang tua juga terlalu memanjakan anak-anak kita, sehingga mereka tumbuh dengan mental yang kurang kuat. Mereka mungkin pintar secara intelektual, tetapi kurang dalam keterampilan sosial karena jarang berinteraksi dengan orang lain.
Sebagai orang tua, kita juga sering berkata, “Cukup saya yang susah,” dan memberikan berbagai kemudahan kepada anak-anak kita, yang pada akhirnya mengurangi daya juang mereka. Hal inilah yang, menurut saya, berkontribusi pada terbentuknya karakter Gen Z saat ini. Alasan inilah yang mendorong saya menulis novel Lebah Pencari Madu, bukan sekadar nostalgia masa lalu, tetapi juga untuk memberikan wawasan tentang pentingnya konsistensi dan persistensi dalam mencapai cita-cita dan kesuksesan.
Novel ini diangkat dari kisah nyata saat kami bersekolah di SMAN Kalisat, Jember, pada tahun 2003–2005. Pada masa itu, kami merasakan pendidikan ala “VOC”, begitu kata netizen, sebelum memasuki zaman serba online seperti sekarang. Dalam novel tersebut, saya menceritakan bagaimana tokoh yang terdiri dari sembilan sahabat menikmati masa muda yang penuh kebahagiaan namun berujung kegagalan, tetapi mereka bisa bangkit dan berhasil mencapai cita-cita sepuluh tahun kemudian. Tidak hanya itu, novel ini juga mengangkat nilai-nilai pengorbanan yang mulai pudar dalam generasi Z.
Menurut saya, diperlukan tuntunan yang jelas dan contoh nyata dalam mengubah perilaku mereka. Lebih penting lagi, kita harus bisa menjadi teladan yang baik bagi mereka. Semua pihak memiliki tanggung jawab untuk mengatasi permasalahan ini, dan optimisme akan selalu ada selama kita terus bergerak dan berusaha.
Kholid Rosyidi MN
Alumni SMAN I Kalisat